Sabtu, 23 Januari 2010

Wall-E


TAHUN 2700. Bumi tinggal hamparan ranggas beton dan gunungan sampah. Tiada lagi kehidupan. Di belantara puing itu hanya ada WALL-E (Waste Allocation Load Lifter-Earth Class). Robot kecil ini bertugas membereskan sampah dan reruntuhan yang ditinggalkan manusia. Ditemani kecoak—satu-satunya makhluk hidup yang tersisa—ia menjalani hari di dunia yang kosong itu.

Bekerja dalam kesendirian membuat WALL-E kesepian. Ia pun menghibur diri dengan menyimpan benda-benda rongsokan yang menarik hati. Termasuk tutup tempat sampah yang dijadikan topi untuk menari.

Hingga suatu hari, pesawat luar angkasa menurunkan EVE (Extraterrestrial Vegetation Evaluator) ke dunia. Robot putih lonjong yang misterius ini membuat WALL-E berbunga-bunga. Namun sayang, EVE tak diprogram untuk mencintai, tapi untuk menyerang. Ia datang untuk sebuah misi misterius. WALL-E tak menyerah. Upayanya mengejar Eve menguak rahasia dahsyat yang bisa membawa manusia kembali ke bumi.

Ini adalah kisah cinta biasa: pria jatuh cinta kepada wanita. Happy ending. Yang luar biasa: pertama, sepasang kekasih itu adalah robot. Kedua, nyaris tak ada dialog, namun penonton tetap bisa ”membaca” dan ”mendengar” komunikasi mereka lewat gerakan dan mimik kaku kedua manusia mesin ini. Maka, jadilah romansa science-fiction yang futuristik ini. Banyak adegan dalam film ini yang mengingatkan kita pada kisah-kisah legendaris: pertemuan Adam dan Hawa, kapal Nabi Nuh, film Star Wars, ET, dan komedi bisu Charlie Chaplin. Ramuan ini sanggup membuat penonton tertawa, terharu, sekaligus jengkel pada keangkuhan manusia perusak bumi. Inilah kehebatan Wall-E: minim dialog namun sukses mengaduk-aduk emosi penonton. Tak mengherankan jika banyak situs perfilman dunia menyebutnya sebagai salah satu film terbaik 2008 dan ”one of the greatest animated movies ever created”.

WALL-E adalah film panjang kesembilan Pixar setelah, antara lain, Toy Story, A Bug’s Life, Monster, Inc., Ratatouille, dan yang paling fenomenal adalah Finding Nemo. Pixar (Disney Pixar sejak 2006) menjanjikan WALL-E adalah versi penyempurnaan dari film-film animasi kreasi mereka sebelumnya. Robot kesepian ini berhasil menyentuh emosi penonton seperti si ikan kecil yang terpisah dari ayahnya di samudra. Maklum, kedua film ini memang ditangani sutradara dan penulis naskah yang sama: Andrew Stanton, yang sudah malang-melintang di Pixar sejak Toy Story.

Lewat film-filmnya, Stanton membuat kita peduli pada hal-hal yang luput dari perhatian: mainan anak-anak, semut, ikan badut (clown fish), dan kini robot pengumpul sampah. Semua yang remeh-temeh itu ternyata punya ”kehidupan” yang menarik untuk difilmkan. Dan laris! Hebatnya, film-film animasi ini, selain sanggup memberi ”nyawa” pada hewan atau benda mati, mereka mampu menyampaikan pesan-pesan filosofis dengan enteng.

Namun, meski digembar-gemborkan begitu hebat, WALL-E tampaknya belum akan menyaingi Finding Nemo. Dengan alur yang lebih simpel dan animasi yang lebih riil, Nemo masih jauh lebih unggul. Memang, WALL-E mungkin cemerlang dalam hal mengawinkan naskah bagus dan teknologi canggih. Meski begitu, dilihat dari jalinan cerita dan warna-warni animasi, Finding Nemo lebih unggul, sehingga bisa dinikmati oleh segala umur. Sedangkan WALL-E terkesan rumit dan membingungkan. Padahal pangsa utama film ini adalah anak-anak. Apalagi, beberapa bulan sebelumnya, DreamWorks Animation baru meluncurkan film animasi Kung Fu Panda, yang mendulang sukses luar biasa, termasuk di Indonesia.

0 komentar:

Posting Komentar